Oleh Asep Rudi Casmana
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indonesia pada 2009 naik tipis menjadi 0,734 dari 0,728 pada 2007, demikian
laporan pembangunan manusia United Nations Development Programme (UNDP )
(Antara News, 2009). IPM dinilai dari tiga aspek yaitu pendapatan, pendidikan,
dan kesehatan. Sesungguhnya, pendapatan dapat menunjang dua aspek lain,
logikanya dengan pendapatan yang cukup, pendidikan dan kesehatan juga akan
turut terangkat.
Tapi sayangnya pengangguran dan
kemiskinan adalah masalah krusial yang dihadapi bangsa ini, fenomena yang
terlihat seperti gunung es, sehingga membuat pemerintah dalam Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2005, tentang Rancangan Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM), menyatakan tujuan pembangunan adalah difokuskan pada usaha
mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Namun, Perpres itu akan sulit
terealisasi karena apa yang terjadi di lapangan menunjukan
angka pengangguran masih tinggi, data survei tenaga kerja nasional
tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), dari
21,2 juta masyarakat Indonesia yang masuk dalam angkatan kerja, sebanyak 4,1
juta atau sekitar 22,2 persen adalah pengangguran, dan tingkat pengangguran
terbuka itu didominasi oleh lulusan diploma dan universitas dengan kisaran
angka di atas 2 juta orang. Pengangguran jenis ini kerap disebut “pengangguran
akademik”. (Kompas,2010)
Kemudian angka pengangguran
tahun 2010 diperkirakan masih akan tinggi, berkisar antara 8-10%. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia tahun 2010 yang diproyeksikan sebesar 5 %, dinilai tidak akan
cukup untuk menyerap seluruh tenaga kerja yang memasuki usia kerja (Solo Pos,
2010). Jumlah ini belum ditambah dengan angka pemutusan hubungan kerja (PHK),
bencana alam seperti gempa, longsor, banjir, dan lain-lain yang tidak
terduga dan turut menambah jumlah pengangguran dan kemiskinan di
Indonesia.
Bila kita berbicara mengenai
pengangguran, tidak terlepas kaitannya dengan kemiskinan dan kesejahteraan
rakyat, hal ini sangat berhubungan karena manusia yang mempunyai pekerjaan dan
penghasilan yang memadai tentu akan dapat memenuhi kebutuhan diri,
keluarga dan lingkungannya, dan seiring dengan itu akan mempunyai kesejahteraan
yang layak. Kesejahteran akan berimbas pada sektor pendidikan dan kesehatan,
dan diharapkan akan mampu berperan aktif membangun komunitas dimana
dia tinggal dan pada akhirnya dapat turut serta membangun bangsa.
Salah satu faktor yang
menyebabkan masih banyaknya angka penganguran yaitu karena sistem pendidikan di
Indonesia yang tidak mengembangkan jiwa soft skill (keterampilan lain
di luar kompetensi utama), padahal pada kenyataanya soft skill sangat
dibutuhkan dalam dunia kerja. Sehingga terjadi ketidakcocokan antara sumber
daya manusia yang tersedia dengan kebutuhan dunia kerja.
Kewirausahaan adalah salah satu
solusi untuk mengatasi masalah pengangguran. Pemerintah daerah kabupaten atau
kota menyediakan anggaran khusus yang berupa pinjaman atau dana hibah kepada
masyarakatnya untuk dapat mengembangkan wirausaha yang akan dilaksanakan. Program
hibah ini idealnya diberikan secara berkala setiap tahun. Dengan adanya para
wirausahawan di suatu daerah, maka wirausahawan itu akan membantu mengembangkan
daerahnya serta mengurangi pengangguran.
Idealnya dalam suatu negara
presentasi masyarakat yang bergerak di dunia wirausaha adalah 1% dari jumlah
penduduk, karena kewirausahaan adalah motor penggerak ekonomi sebuah negara.
Dari sektor informal ini dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 63% dibandingkan
dengan sektor formal yang hanya menyerap sebanyak 37% (Muhaimin Iskandar,2010).
Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi (DIKTI) sangat menyadari pentingnya entrepreneurship ini,
sehingga terciptanya berbagai ajang kreativitas mahasiswa seperti Program
Kreativitas Mahasiswa (PKM), Cooperative Education (Co-op) dan Program
Mahasiswa Wirausaha (PMW)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar