I'm Asep Rudi Casmana: Izinkan aku sekolah, Ayah…

WILUJEUNG SUMPING DINA SERATAN KANG ASEP


Rabu, 20 Juli 2016

Izinkan aku sekolah, Ayah…

Oleh Asep Rudi Casmana, S.Pd.

Hari ini aku merasa sangat bahagia. Tepat pada tepat pada tahun 1956 ini, usiaku sudah genap menjadi tujuh tahun dimana pada saat ini adalah waktu yang tepat untuk bersekolah di Sekolah Rakyat (SR). Meskipun keluarga kami bukan berasal dari kalangan menak atau bangsawan, namun aku sudah merasa sangat senang dengan kehidupan ini. Ayah dan ibuku hanya seorang petani, setiap hari pekerjaanya pergi ke sawah untuk membersikah rumput padi atau mengusir tikus sawah yang suka memakan padi, kalau tidak ayah pegi ke kebun untuk mengembala kambing dan sapi. Karena kami berasal dari keluarga petani, setiap hari aku beserta tiga orang saudaraku selalu diajak dan disuruh oleh ayah untuk mengmbala dan menycari makanan untuk sapi. Begitulah aktivitas kami setiap harinya.


Rumah kamipun tidak besar, seluruh dindingnya terbuat dari bambu. Tipe bagunan kami bukanlah seperti rumah-rumah modern yang banyak menggunakan campuran pasir, semen, batu hingga terlihat menjadi sebuah rumah gedongan, namun sebuah rumah panggung yang segalanya terbuat dari bambu dan kayu. Jangankan berharap adanya AC, bisa mendapatkan dengan hihid (sebuah kipas yang terbuat dari bamboo) saja kami sudah merasa sangat nyaman dan tentram untuk dapat tinggal disini. Karena belum ada listrik, pencahayaan kami hanya cukup dengan lilin setiap malamnya. Begitulah keadaan rumah kami.

Sekolah merupakan impian aku sejak lama. Pada saat usiaku menginjak angka lima, aku melihat teman-teman yang pergi ke sekolah sangat pandai membaca dan menghitung. Mereka sudah sangat senang dan bisa tertawa sendiri ketika membaca buku, bisa menghitung uang serta bisa menulis huruf-huruf yang sangat indah. Lalu bagaimana denganku? Ketika aku memegang sebuah buku, aku tidak tahu apa maksudnya tulisan ini, karena aku tidak dapat membaca. Suatu saat, aku mendatangi sekolah tempat mereka belajar. Namun sayangnya gurunya mengatakan bahwa saya belum dapat memasuki sekolah karena usiaku belum genap tujuh tahun, sehingga aku harus menunggu kurang lebih dua tahun lagi.
Ilustrasi: sumber gambar diambil dari google image
Suatu saat, ketika kami sekeluarga sedang mengembala kambing di kebun, aku mencoba meminta izin kepada ayah supaya aku dapat bersekolah.

pak abdi hoyong sakola atuh, siga batur” (Pah, saya ingin sekolah supaya bisa seperti mereka). Dengan nada yang meminta belas kasihan, aku mencoba meminta izin kepada ayah.

Namun ternyata aku mendapatkan jawaban yang benar-benar tidak terduga. Sebuah jawaban yang sangat mengejutkan. Dengan nada yang sangat marah ayah mengatakan sebuah kalimat dari mulutnya yang sudah membuat saya benar-benar sangat sedih.

Ai maneh rek nanaonan atuh make sakola-sakola sagala? Daripada cape-cape bolak balik ka sakola, mendingan cicing didieu bantuan bapa ngangon domba. Geus tong mamangkatan, cicing weh didieu. Presiden geus aya, Gubernur geus aya, ai maneh rek jadi naon deui ” (Kamu ngapain mau sekolah? Daripada cape-cape pergi ke sekolah, lebih baik disini saja bantu ayah mengembala kambing. Udah jangan pergi-pergian lagi, disini saja bantu ayah. Presiden dan gubernur saja sudah ada, kamu mau jadi apa emang). Dengan nada yang sangat keras ayah memarahi saya.

Ternyata memang sesuai dugaan bahwa ayah tidak akan mengizinkan sekolah. Pada saat aku mau masuk Sekolah Rakyat (SR), ayah benar-benar tidak mengizinkanku untuk pergi ke sekolah. Aku terus berusaha memaksakan kehendak ayah, karena aku hanya ingin dapat membaca dan menulis. Aku ingin memiliki bekal untuk masa depan. Dengan membaca, aku bisa belajar sendiri menelusuri hal-hal yang terbaru yang dapat meningkatkan pengetahuanku. Sedangkan dengan menulis, aku dapat berbagi kepada orang-orang mengenai apa yang aku punya.

Diam-diam aku mendaftarkan ke sekolah rakyat tanpa sepengetahuan ayah. Namun permasalahan yang sangat besar bagi aku muncul ketika hari pertama sekolah. Ayah curiga dengan gerak-geriku. Namun aku sadar bahwa tanpa adanya restu dari orang tua, segalanya tidak akan mudah. Dengan baik-baik aku sampaikan bahwa aku akan berangkat ke SR dan hari ini adalah hari pertama sekolahku. Ternyata, ayah benar-benar sangat marah. Dia bahkan sampai melempar kursi yang hampir kena ke muka saya. Mungkin ini adalah sebagai efek kekesalan ayah ke aku. Akhirnya, selama kurang lebih dua hari aku dikuncikan di dalam kamar oleh ayah.

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba setelah dua hari saya dikurung didalam kamar. Ayah masuk kedalam kamar dengan membawa ikan bakar dengan nasi, tak lupa dengan minumannya. Mungkin ia kasihan sama aku. Dengan nada yang pelan, ayah membisikan sesuatu kepadaku bahwa ia mengzinkan aku untuk pergi ke sekolah rakyat itu. Badan saya yang sangat lemas dan lapar, seketika langsung hilang dan bersemangat mendengarkan bisikan ayah itu. Aku langsung berdiri dan memeluk ayah hingga mengucapkan terimakasih. Akupun langsung bergegas dan pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu
……………..
Hari ini tepat pada tahun 1963, aku sudah menyelesaikan pendidikan sekolah rakyat selama kurang lebih enam tahun. Rasanya memiliki kemampuan membaca dan menghitung saja kurang cukup, aku ingin menguasai ilmu-ilmu yang lain sehingga aku memiliki cita-cita untuk dapat bersekolah ke SMP. Namun rasanya tidak mungkin, dulu saja ketika meminta izin ke ayah, dia tidak mengizinkan. Dan memang benar, sebelum aku meminta izin, ayah sudah memingatkanku untuk tidak melanjutkan sekolah. Ia menyarankan aku untuk kembali ke kebun untuk mengembala kambing dan sapi-sapi milik ayah.

Sekarang, kehidupanku tetap seperti ini. Belajar dan bersekolah hingga ke jenjang pendidikan tinggi hanyalah sebuah mimpi indah semalaman yang tidak akan mungkin pernah terjadi. Kehidupanku kembali ke semula seblum aku masuk sekolah rakyat, bangun pagi dan langsung menuju ke kebun atau sawah untuk mengurus binatang peliharaan keluarga hingga sore hari. Waktu malamku hanya digunakan untuk tidur, karena tidak ada cahaya. Lilin hanya memiliki sedikit penerangan dan kurang cukup untuk membaca.

Diusiaku yang sudah menginjak angka 55, keinginan untuk terus belajar tidak pernah sirnah. Sempat tersirat dalam pikiranku untuk dapat pergi ke pesantren agar aku bisa belajar agama bersama para ustadz yang hebat. Aku ingin memiliki pengetahuan, aku ingin pintar, aku ingin sekolah sperti mereka. Namun rasanya hal itu tidak mungkin. Kini mata aku tidak dapat berfungsi dengan baik, ketika membaca buku, aku langsung terasa pusing. Mungkin ini karena efek usia yang sudah tua.

Semoga para generasi muda berikutnya tidak dapat menyia-nyiakan waktu mereka, gapailah impianmu, bacalah buku sebanyak-banyaknya. Jangan sampai belajar dan sekolah itu hanya sebuah cita-cita seperti aku ini.
 
sumber: gambar diambil dari google image

Asep Rudi Casmana, S.Pd.
Penerima beasiswa LPDP Kementrian Keuangan RI

Mahasiswa Global and International Citizenship Education, The University of York, 
United Kimgdom 2016.

1 komentar: