I'm Asep Rudi Casmana: Gue Benci Demokrasi !

WILUJEUNG SUMPING DINA SERATAN KANG ASEP


Kamis, 18 Juli 2013

Gue Benci Demokrasi !

Oleh Asep Rudi Casmana



            Demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan yang dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Semua yang memiliki jabatan fungsional dipegang oleh banyak orang, tidak hanya satu orang. Sebuah konsep yang sangat ideal bagi sebagian negara yang menganut sistem demokrasi. Dalam pelaksanaanya, demokrasi terbagi menjadi dua yaitu ada demokrasi secara langsung dan demokrasi secara tidak langsung. Pada konsep demokrasi secara langsung maka rakyat secara langsung menjadi aktor utama dalam penentuan kebijakan publik, rakyat juga berprean aktif dalam setiap partisipasi politik serta dalam acara acara seremonial yang dilaksanakan oleh negara. Ini dapat terjadi pada suatu masyarakat yang memiliki budaya politik partisipan dengan jumlah penduduk serta luas wilayahnya dengan skala kecil. Sedangkan pada konsep demokrasi secra tidak langsung, rakyat diwakilkan oleh orang-orang tertentu yang menduduki jabatan-jabatan publik. Sehingga tidak semua orang dapat ikut andil dalam menentukan kebijakan negaranya.
            Dalam tulisan kali ini saya akan membahas konteks demokrasi secara langsung yang pernah dialami oleh sebuah Negara kota di Yunani, tepatnya Kota Athena. Kota ini merupakan Ibu Kota Yunani, jumlah penduduknya sangat sedikit yaitu tidak lebih dari jumlah provinsi terkecil di Indonesia yang berkisar tiga puluh ribu orang. Penduduknya sangat damai, tentram dan aman. Negara Kota ini pernah mengalami masa kejayaan pada saat dipimpin oleh seorang negarawan Yunani bernama Pericles, pada saat itu sistem pemerintahan yang digunakan olehnya adalah system demokrasi dimana pemerintahannya dipegang oleh banyak orang.
            Orang-orang Yunani sangat peka terhadap permasalahan-permasalahan negaranya, karena membicarakan dan diskusi sehari-harinya selalu tentang negara. Setidaknya ada beberapa alasan, mengapa ia menyukai diskusi mengenai negaranya. Pertama, bahwa sistem pemerintahan di Yunani selalu berubah-ubah mulai dari Monarki, Aristokrasi, Tyrani dan Demokrasi. Kedua bahwa adanya kebebasan bicara, ketiga bahwa Negara mereka adalah prulasis dan yang selanjutnya bahwa luas wilayahnya kecil sehingga masyarakat selalu diidentikan dengan negara dan begitupun sebaliknya. Para pemuda yang sudah berusia dua puluh tahun keatas dapat dilibatkan dalam forum Ecclesia, yaitu suatu forum yang bertujuan untuk menentukan arah kebijakan-kebijakan negaranya. Sehingga pemuda di Yunani sangat produktif.
            Pada masa kejayaan bersama Pericles tersebut Athena memiliki sistem yang sangat kuat yang bernama “Athenian Democratica”. Sistem ini membuat orang-orang yang berada dalam tatanan pemerintahannya sangat kuat. Selain itu para pedagang dan imigran asing berdatangan ke Yunani untuk mempelajari dan mengkaji sistem demokrasi yang berhasil diterapkan di negara ini. Namun meskipun demikian, sistem demokrasi yang diterapkan oleh Pericles tidak mewajibkan militer kepada warga negaranya. Wajib militer hanya diberikan kepada orang-orang yang ingin mengabdikan dirinya kepada Negara, sehingga jika terjadi serangan secara mendadak oleh pihak luar maka negara ini tidak akan sanggup dan bahkan terjadi kekalahan.
            Berbeda dengan Negara Sparta yang terkenal dengan sistem Aristokrasi otoriter. Dalam hal ini Negara Sparta mewajibkan militer kepada semua warga negaranya baik itu perempuan maupun laki-laki tanpa terkecuali. Wajib militer yang dicanangkan oleh aristocrat ini tercantum dalam konstitusi negaranya, sehingga negara ini sangat kuat dan siap siaga kapanpun ketika ada musuh menyerang. Sistem militer yang diajarkan kepada warga masyarakatnya yaitu dididik langsung oleh tentara kepada laki-laki dan perempuan, mereka latihan fisik hingga telanjang bulat, begitupun perempuan. Perempuan diwajibkan untuk melakukan pelatihan fisik supaya kencang kulitnya, sehingga mereka kuat pada saat melahirkan dan siap membela Negara. Keadaan seperti ini telah membuat warga Negara Sparta memiliki rasa nasionalisme dan kebanggaan yang sangat kuat terhadap negaranya, selain itu mereka juga sangat tunduk dan patuh kepada pemimpin pemimpin mereka.
            Pada tahun 431-404 telah terjadi Perang Peloponesia. Perang ini mengakibatkan ujung dari kejayaan dan kehancuran Negara Athena. Pada peristiwa itu telah terjadi penyerangan dan penembakan dari Sparta menuju Athena, Yunani. Sparta memberontak dan menyerang Athena hingga mereka semua hancur. Akhirnya Negara kota Athena itu runtuh akibat serangan dari tentara Sparta. Jika dilihat dari system pemerintahan yang dianut oleh kedua Negara ini, secara logika Athena pasti kalah. Karena system demokrasi yang diterapkan oleh Pericles tidak mewajibkan militer, sedagkan Aristokrat Sparta mewajibkan bahkan tanpa terkecuali itu seorang perempuan.
            Seperti halnya perang dunia II pada tahun 1939 – 1945 yaitu pada saat kekalahan Jepang terhadap sekutu, namun berikutnya Jepang bangkit kembali hingga menjadi macan di Asia. Begitupun Athena, setelah kalah dalam perang Peloponesia kini bermunculan para orang-orang baru yang memiliki pemikiran baik untuk membangun sebuah Negara yang ideal. Salahsatunya adalah Plato, ia adalah muridnya Socrates. Ia memiliki konsep pemikiran-pemikiran yang sangat luarbiasa untuk membangun kembali Athena. Terdapat dua konsep Negara ideal menurut Plato.
            “Negara yang ideal adalah Negara yang berdasarkan kebajikan (Virtue)
            Kebajikan yang dimaksud Plato adalah pengetahuan. Artinya sebuah Negara yang ideal adalah Negara yang warga negaranya memiliki pengetahuan yang banyak, pengetahuan itu dapat diperoleh dari pendidikan melalui sebuah lembaga yang formal. Ini adalah cikal bakal dari sebuah sekolah formal yang ada hingga saat sekarang ini. Pendidikan formal yang terjadi dan berlangsung secara terus menerus di Athena telah membangkitkan kembali semangat serta menimbulkan pemikiran-pemikiran baru yang akhirnga melahirkan para filsuf yang dapat membangun kembali Negara kota yang telah hancur karena kalah dalam perang Peloponesia beberapa tahun yang lalu. Plato sangat yakin bahwa jika warga negaranya terdidik, maka akan menghasilkan sebuah begerasi yang kompak serta dapat berinovasi untuk memajukan negaranya.
Negara ideal didasarkan pada prinsip larangan atas kepemilikan pribadi, baik dalam bentuk uang, harta, keluarga, anak dan isteri
            Pemikiran plato yang kedua ini dinamakan ‘Nihilisme sosial’ yang artinya setiap warga Negara tidak boleh memiliki hak pribadi. Semuanya milik Negara dan diatur oleh Negara, karena jika mereka memiliki hak pribadi maka akan terjadi kecemburuan social serta ketimpangan diantara perbedaan yang mereka miliki. Tentunya hal ini memiliki landasan serta alasan yang kuat mengapa Plato menyampaikan gagasan pemikiran seperti ini. Setelah warga negaranya terdidik melalui pendidikan formal yang dilaksanakan oleh Negara, maka berikutnya adalah mempersiapkan diri untuk selalu siap siaga ketika ada serangan mendadak seperti yang terjadi dalam perang Peloponesia. Setiap orang tidak boleh memiliki hak pribadi. Anak, uang dan wanita adalah milik bersama. Anak yang baru lahir tidak boleh diasuh secara eksklusif oleh ibunya yang melahirkan. Ia harus dipelihara oleh Negara, sehingga seorang anak tidak tahu (dan tidak boleh tahu) siapa ayah dan ibu mereka. Anak-anak ini diasuh dalam asrama dan didik oleh Negara, sehingga mereka memiliki jiwa mandiri dan tidak tergantung kepada orang tuanya. Begitupun seorang isteri, tidak boleh ada sebuah ikatan melalui lembaga perkawinan. Karena hal itu akan mengakibatkan kecemburuan serta ketidak berdayaan seorang perempuan. Jika perempuan bergantung kepada seorang laki-laki, dan dia mengasuh anaknya maka perempuan itu tidak bias membela Negara. Dan ini adalah kerugian yang sangat besar bagi Athena, wanita juga bias menjadi seorang tentara yang sama seperti laki-laki dalam membela Negara.
            Mengenai pemikiran Plato diatas bukanlah konsep dari sebuah Negara demokrasi yang telah hancur oleh perang Peloponesia. Ada indikasi yang menyatakan bahwa Plato benci terhadap demokrasi. Kebencian Plato terhadap system demokrasi berlandaskan pada sosio historis yang telah dialaminya ketika Athena dikalahkan oleh Sparta dalam perang tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar