Oleh
Asep Rudi Casmana
Episode 4
Jalan terjal menuju beasiswa LPDP
Sebelumnya
saya mohon maaf untuk para pembaca blog Kang Asep. Saya sudah bertekad untuk
menyelesaikan tulisan ini hingga saya mendapatkan beasiswa. Oleh sebab itu saya
kembali muncul untuk menulis dan memperbaharui blog ini. Beberapa minggu
kebelakang saya tidak aktif pada dunia blogger karena sedang sibuk
mempersiapkan acara persiapan keberangkatan (PK) Penerima beasiswa LPDP yang
merupakan sebuah kewajiban. Tapi Alhamdulillah sekarang sudah selesai, sehingga
saya dapat kembali aktif menulis dan mengisi blog ini hingga ceritanya habis.
Pada
episode kali ini, saya ingin bercerita mengenai kegagalan saya yang
berulang-ulang tanpa henti-hentinya. Ya, memang begitulah kehidupan saya. Penuh
dengan kegagalan, mungkin kebanyakan orang melihat saya dari segi
keberhasilannya saja, namun mereka tidak tahu bagaimana saya berjuang keras
untuk membangkitkan semangat supaya tetap berlanjut hingga akhirnya sukses.
Baiklah,
sedikit flash back ke belakang.
Semenjak saya lulus SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi, saya sudah
terbiasa dengan kegagalan. Saya ditolak oleh tujuh perguruan tinggi,
diantaranya adalah ITB (gagal PMBP ITB 2010), UPI (Gagal PMDK, UM, SNMPTN),
UNPAD (gagal SMUP), STIS Jakarta, IPB, IPDN (gagal di tes kesehatan yang
katanya saya punya penyakit jantung, setelah check up ke rumah sakit yang lain, saya normal), dan akhirnya
jurusan Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan UNJ mau menerima saya. Dari
kegagalan ini, saya selalu berfikir positif dan selalu yakin bahwa Allah
memiliki rencana yang terbaik untuk saya. Saya juga sangat yakin bahwa Allah
akan mempersiapkan sesuatu yang lebih indah yang tidak pernah terfikirkan
sebelumnya. Itulah modal utama saya.
”rasa percaya diri yang kuat bahwa kita
BISA, akan membawa kepada sebuah sikap yang mengarah kepada kesuksesan”
Kembali
kepada kegagalan ujian bahasa Inggris. Jadi setelah saya melalui proses selama
satu tahun di pare, kurang lebih saya sudah mengalami enam kali gagal dalam
ujian bahasa yaitu tiga kali ujian TOEFL dan tiga kali ujian IELTS. Saya sangat
terkejut ketika mengikuti ujian TOEFL pertama kali pada tahun 2014, pada waktu
itu saya sudah mengunggah semua berkas pendaftaran beasiswa ke website LPDP
(Ijazah, traskrip akademik, KTP, dan yang lainnya) hanya tinggal satu lagi
sertifikat TOEFL yang belum. Namun apa boleh buat, Allah berkata lain. Nilai
ujian bahasa inggris pertama saya hanya 357. How could it be? Nilai yang sangat rendah, untuk mendaftar beasiswa
LPDP Afirmasi saja tidak cukup.
Meskipun
demikian, saya tidak tinggal menyerah, saya terus berusaha untuk berjuang dan
belajar. Pada ujian berikutnya, nilainya meningkat menjadi 463, kemudian
meningkat lagi menjadi 473. Itu posisinya setelah saya belajar selama tujuh
bulan di pare. Namun apa boleh buat, saya akhirnya sudah pusing sama TOEFL,
saya putuskan untuk pindah ke IELTS.
Bismillah |
Ini
merupakan sebuah pengalaman bagi saya dan teman-teman yang sedang belajar
bahasa inggris, khususnya bagi mereka yang mau mendaftar beasiswa luar negeri. Apakah
saya perlu belajar TOEFL dulu baru IELTS? Ataukah langsung IELTS saja? Dulu
saya berfikir untuk belajar TOEFL dulu hingga nilai saya menjadi 550, kemudian
daftar beasiswa dan setelah itu baru ke IELTS. Namun ternyata untuk dapat nilai
500 saja bagi saya sebagai seorang pemula sangat susah, apalagi 550. Saya
menyimpulkan bahwa bagi mereka yang ingin berniat untuk studi ke luar negeri,
langsung belajar IELTS saja. Memang membutuhkan waktu yang lama, apalagi untuk
pemula, namun hal itu akan mempermudah kita di akhir, apalagi kalau sudah
mecapai target 6,5. Seperti yang saya rasakan, setelah 6,5 segalanya menjadi
mudah.
Well, setelah saya hijrah
ke IELTS, ternyata IELTS tidak semudah yang dibayangkan juga. Saya terus
belajar bahasa inggris di pare tanpa henti-hentinya. Saya mencoba untuk ujian
IELTS pertama pada tanggal 28 Maret di British
Council Jakarta. Meskipun saya sudah merasa percaya diri, namun ternyata
Allah belum juga menghendaki saya untuk berhasil. Nilainya hanya overall 5.0 dengan semua band-nya juga
5.0. Bagaimana tidak pusing, uang sudah hangus sebesar 250 USD atau sekitar Rp.
2.400.000 untuk test pertama. Namun apa boleh buat? Impian saya sudah sangat
bulat untuk studi di luar negeri, saya tidak mau kalah hanya karena kegagalan
pertama. Saya bukan tipe orang yang sekali gagal, lalu berhenti. Ibu saya
selalu mengatakan bahwa wajar saja kalau gagal pada saat pertama, karena itu
adalah masanya penetrasi dengan IELTS. Beruntung saya mendapatkan dukungan
penuh dari ayah dan Ibu, sehingga mereka selalu menguatkan hati yang sedih ini
untuk terus berjuang.
Setelah
gagal, saya kembali ke pare dan dipertemukan dengan institusi English Studio
dan dua orang kawan seperjalanan. Saya selalu percaya diri kalau sebenarnya
saya bisa mencapai nilai 6.5. Dalam hati, saya selalu mengatakan bahwa “ah, 6.5 doang mah mudah. Ini mah masalah
waktu saja, saya yakin kalau saya bisa”. Itulah yang selama ini yang ada
dalam pikiran saya. Akhirnya, pada bulan September 2015 saya kembali mencoba
ujian IELTS yang kedua bersama empat orang sahabat saya. Namun lagi-lagi belum
berhasil. Nilai saya 6.0 dengan speaking
6.5, writing 6.5, reading 6.0 dan listening 5.5. Padahal kalau listening
saya 6.0, saya dapat mencapai nilai 6.5. lagi-lagi saya tetap berfikir positif
bahwa Allah belum mengizinkan.
Ketika
saya gagal dalam bahasa, saya selalu berasumsi bahwa kehidupan di Inggris
sangatlah keras, kalau IELTS saja yang sangat mudah tidak bisa, bagaimana kita
mendengarkan dosen kuliah? Bagaimana cara kita presentasi di depan kelas? Bagaimana
cara saya mengerjakan soal-soal dan membuat jurnal? Oleh sebab itu, supaya saya
merasa percaya diri di Inggris, saya harus terus berjuang dan berjuang.
Akhirnya
saya memutuskan untuk belajar sendiri di kosan selama empat bulan. Karena
masalah saya pada listening, akhirnya
saya tidak pernah melepaskan headset setiap harinya. Saya sumpelin telinga ini
mulai setelah subuh, hingga jam 10 malam. Saya nonton film, dengerin podcast,
radio BBC atau apapun itu yang bahasa inggris. Begitulah saya selama empat
bulan terakhir. Finally, pada saat
ujian bulan januari 2016, nilai saya meningkat menjadi 6.5. Ini merupakan
standar minimal yang dibutuhkan oleh LPDP dan beberapa perguruan tinggi di
dunia.
Setelah
saya mendapatkan nilai 6.5, saya langsung diterima di beberapa perguruan tinggi
top 100 di dunia, diantaranya The University of Glasgow, The University of
Bristol, The University of York, University College London, The Australian National
University, The University of Adelaide dan Monash University. Saya bisa
membuktikan bahwa dulu saya ditolak oleh tujuh kampus terbaik di Indonesia,
namun saat ini saya bisa diterima di 7 kampus terbaik di dunia. Meskipun
demikian, saya memutuskan untuk masuk ke The University of York, United
Kingdom. Karena hanya kampus ini yang menyediakan program MA in Global and International
Citizenship Education. Saya kembali kepada keguruan, yaitu guru
Pendidikan Kewarganegaraan.
Alhamdulillah saya sudah mendapatkan kunci itu |
Dari
perjalanan saya selama 14 bulan dan berkecimpung dengan kegagalan ini, ada
banyak hal positif yang dapat diambil. Bagi saya, anugerah terindah dalam
sebuah kehidupan ini adalah memiliki banyak kawan dan sahabat. Kalau saya tidak
gagal, saya tidak tingal lama di pare, dan saya juga tidak akan mendapatkan
sahabat-sahata terbaik. Saya sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan salah
satu kawan sekelas alumni Universitas Sriwijaya Palembang. Sosoknya yang rendah
hati selalu memberikan nasehat bagaimana cara mengahadapi hidup dan mengatur
emosi. Satu hal yang sampai saat ini saya tidak pernah lupa adalah niat.
Setelah saya memperbaiki niat atas nasehat dari dia, kini saya menjadi lebih
berhati-hati dalam memulai sesuatu. Berikutnya teman yang sangat luar biasa,
dia adalah seseorang yang berasal dari Kota Padang. Karena telalalu banyak
kebaikannya dia, sehingga saya tidak dapat menyebutkan. Tanpa dia sadari, saya
banyak belajar dari perilakunya terutama bagaimana hidup menjadi lebih dewasa.
Mereka berdua adalah kawan sekelas saya ketika saya belajar di English Studio.
Mereka berdua adalah orang yang terus mendukung dan memberikan semangat ketika
saya gagal ujian IELTS.
“dari
kegagalan, saya dapat memetik banyak berkah”
Asep
Rudi Casmana
Muka bahagia setelah ujian IELTS di IALF Surabaya |
Menginspirasi sekali kak Asep, luar biasa.
BalasHapusALhamdulillah, terimakasih banyak Riska :)
HapusTerimakasih banyak kak ceritanya, saya jadi semangat lagi, hehe. Saya mohon doanya juga yaa, supaya saya bisa nyusul kuliah di luar negeri juga.. makasih kak, salam semangat :)
BalasHapus