Oleh Asep Rudi Casmana
Senin,
04 februari 2013. Hari ini gue mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi sanak
keluarga di rumah. Keluarga gue memang biasa-biasa saja, ayah dan ibu gue hanya
seorang petani yang kantor nya di sawah dan kebun. Adik gue masih sekolah di
SMP N 2 Purwadadi, sekolah dimana gue menggunakan seragam putih biru dulu.
Rumah gue juga sudah sangat tua, karena belum mempunyai biaya untuk renovasi,
apalagi membuat rumah yang baru. Ada sih keinginan untuk membuat rumah yang
bagus seperti rumah temen-temen gue di Jakarta tapi rasanya tidak mungkin.
Penghasilan yang ayah dapatkan hanya cukup untuk biaya kehidupan sehari-hari,
apalagi sekarang gue sudah mulai kuliah, biaya kehidupan di jakarta
berlipat-lipat dari harga yang biasa gue beli di kampung. Namun itulah
kehidupan, harus merelakan. Kedua orang tua gue rela kalau jatah keuangan
keluarga harus dikurangi dan dialirkan untuk anggaran gue di Jakarta.
“Keluarga adalah motivasi utama saya dalam
meraih sebuah kesuksesan di bangku perkuliahan”
Itulah
sepintas kehidupan keluarga gue di kampung. Namun meskipun demikian, gue tidak
peduli kalau gue berasal dari kalangan keluarga yang perekonomian menengah
kebawah. Gue engga peduli kalau ada temen-temen gue yang terkadang menghina
karena gue engga mau diajak ke tempat-tempat gaul dan tempat nongkrong di
Jakarta dan gue juga engga peduli kalau gue dijuluki sebagai kutu buku. Bukan
berati gue tidak mau mengenal Jakarta, bukan berarti gue tidak mau mengikuti
gaya hidup orang-orang Jakarta, tapi gue memang engga punya uang banyak untuk
mengikuti kalian. Pernah suatu saat, ada seseorang yang mengajak gue
jalan-jalan ke Kota Tua dan Monas Jakarta. Saat itu juga gue tolak dengan
alasan perkuliahan di hari esok, padahal sebenarnya gue mau banget ikut. Kalau
seandainya gue ikut, belum tentu hari esok gue bisa makan atau tidak.
Gue
selalu inget kalau Ibu gue selalu mengatakan begini “Udi (nama panggilan dirumah) kade ulah balangah di tempat batur, jaga
perilaku na, ulah poho ngapalkeun unggal wengi ambeh jadi jalma nu bener tur
pinter”.
Dalam
sebuah teori kesuksesan seseorang terdapat tiga unsur yaitu “Skill, Attitude, Knowledge”
Secara
tidak langsung, mamah selalu mengatakan begitu.
Amanah dan pesan yang mamah sampaikan ke gue selalu bilang begitu.
Mungkin mamah tidak tahu apa yang namanya teori kesuksesan, namun setelah gue
analisis dan menggabungkan dari pepatah kesuksesan serta apa yang mamah
sampaikan itu sama. Intinya Mamah selalu berharap kalau Jakarta adalah bukan
tempat kita, Jakarta adalah tempat orang lain, maka gue harus menjaga sikap dan
menghormati orang lain meskipun orang itu adik kelas atau lebih muda usianya.
Dia juga selalu berpesan kalau gue harus belajar setiap malam supaya menjadi
pintar dan berprestasi. Dan dia juga yakin kalau ketiga hal itu lah yang akan
membuat gue sukses dan merubah kehidupan kelak di masa depan. “Believe and the world will make it happen”.
Kurang lebih itulah yang selalu mama katakan.
“Tuliskanlah mimpi-mimpimu sekarang juga,
karena kalau tidak maka kamu akan lupa”
Satu
malam yang sangat berarti. Meskipun gue hanya menginap atau kasarnya cuma setor
muka doang ke orang tua, tapi mereka sangat senang. Kami diskusi mengenai masa
depan gue mau diabawa kemana dan mau jadi apa nantinya. Satu hal yang gue
simpulkan dalam pembicaraannya malam ini adalah kedua orang tua gue ingin kalau
gue melanjurkan kuliah setelah lulus dari S1 ke S2 sebelum gue menikah. Entah
mengapa, ayah dan ibu gue menaruh harapan yang sangat besar untuk masa depan
gue. Mungkin karena gue anak pertama atau bagaimana, mereka percaya kalau gue
akan merubah status keluarga dan mengangkat mereka.
“Ibarat
batre HP yang baru saja di charge full, maka itulah motivasi gue”. Gue merasa
kalau satu malam ini sangat berarti bersama keluarga. Karena motivasi gue untuk
terus belajar dan berprestasi terus membara.
“Pendidika adalah investasi masa depan”
Gue
sangat bersyukur karena kedua orang tua gue tidak pernah perhitungan untuk
masalah keuangan, apalagi uang itu akan dibelanjakan untuk kepentingan
pendidikan. Setiap kali gue meminta uang yang akan dibelikan untuk membeli
buku, semahal apapun itu mereka selalu memberi. Semahal apapun biaya
perkuliahan, mereka selalu memberi.
Bahkan
ketika gue bilang kalau biaya per semester untuk S2 di Universitas Indonesia
sebesar Rp. 15.000.000,- mereka sanggup membayarnya. Yang penting gue jujur,
itu kata dia. Padahal belum tau itu uang akan datang dari mana. Entah akan
menjual rumah atau bagaimana gue engga tau. Tapi melihat dukungan dan antusias mereka,
serasa full banter gue. Gue terus semangat. Semoga gue mendapatkan beasiswa
lagi dan bisa mewujudkan mimpi gue untuk terus sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi.
Tuhan
terimakasih telah melahirkan aku dari keluarga seperti ini. Meskipun sederhana,
tapi gue sangat bahagia.
Semoga
apa yang gue cita-cita kan dapat diwujudkan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar