Oleh Asep Rudi Casmana
Demokrasi
merupakan sebuah sistem pemerintahan yang dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat. Semua yang memiliki jabatan fungsional dipegang oleh banyak
orang, tidak hanya satu orang. Sebuah konsep yang sangat ideal bagi sebagian negara
yang menganut sistem demokrasi. Dalam pelaksanaanya, demokrasi terbagi menjadi
dua yaitu ada demokrasi secara langsung dan demokrasi secara tidak langsung.
Pada konsep demokrasi secara langsung maka rakyat secara langsung menjadi aktor
utama dalam penentuan kebijakan publik, rakyat juga berprean aktif dalam setiap
partisipasi politik serta dalam acara acara seremonial yang dilaksanakan oleh negara.
Ini dapat terjadi pada suatu masyarakat yang memiliki budaya politik partisipan
dengan jumlah penduduk serta luas wilayahnya dengan skala kecil. Sedangkan pada
konsep demokrasi secra tidak langsung, rakyat diwakilkan oleh orang-orang
tertentu yang menduduki jabatan-jabatan publik. Sehingga tidak semua orang
dapat ikut andil dalam menentukan kebijakan negaranya.
Dalam
tulisan kali ini saya akan membahas konteks demokrasi secara langsung yang
pernah dialami oleh sebuah Negara kota di Yunani, tepatnya Kota Athena. Kota
ini merupakan Ibu Kota Yunani, jumlah penduduknya sangat sedikit yaitu tidak
lebih dari jumlah provinsi terkecil di Indonesia yang berkisar tiga puluh ribu
orang. Penduduknya sangat damai, tentram dan aman. Negara Kota ini pernah
mengalami masa kejayaan pada saat dipimpin oleh seorang negarawan Yunani
bernama Pericles, pada saat itu sistem pemerintahan yang digunakan olehnya
adalah system demokrasi dimana pemerintahannya dipegang oleh banyak orang.
Orang-orang
Yunani sangat peka terhadap permasalahan-permasalahan negaranya, karena
membicarakan dan diskusi sehari-harinya selalu tentang negara. Setidaknya ada
beberapa alasan, mengapa ia menyukai diskusi mengenai negaranya. Pertama, bahwa
sistem pemerintahan di Yunani selalu berubah-ubah mulai dari Monarki,
Aristokrasi, Tyrani dan Demokrasi. Kedua bahwa adanya kebebasan bicara, ketiga
bahwa Negara mereka adalah prulasis dan yang selanjutnya bahwa luas wilayahnya
kecil sehingga masyarakat selalu diidentikan dengan negara dan begitupun
sebaliknya. Para pemuda yang sudah berusia dua puluh tahun keatas dapat
dilibatkan dalam forum Ecclesia, yaitu suatu forum yang bertujuan untuk
menentukan arah kebijakan-kebijakan negaranya. Sehingga pemuda di Yunani sangat
produktif.
Pada
masa kejayaan bersama Pericles tersebut Athena memiliki sistem yang sangat kuat
yang bernama “Athenian Democratica”.
Sistem ini membuat orang-orang yang berada dalam tatanan pemerintahannya sangat
kuat. Selain itu para pedagang dan imigran asing berdatangan ke Yunani untuk
mempelajari dan mengkaji sistem demokrasi yang berhasil diterapkan di negara ini.
Namun meskipun demikian, sistem demokrasi yang diterapkan oleh Pericles tidak
mewajibkan militer kepada warga negaranya. Wajib militer hanya diberikan kepada
orang-orang yang ingin mengabdikan dirinya kepada Negara, sehingga jika terjadi
serangan secara mendadak oleh pihak luar maka negara ini tidak akan sanggup dan
bahkan terjadi kekalahan.
Berbeda
dengan Negara Sparta yang terkenal dengan sistem Aristokrasi otoriter. Dalam hal
ini Negara Sparta mewajibkan militer kepada semua warga negaranya baik itu perempuan
maupun laki-laki tanpa terkecuali. Wajib militer yang dicanangkan oleh aristocrat
ini tercantum dalam konstitusi negaranya, sehingga negara ini sangat kuat dan
siap siaga kapanpun ketika ada musuh menyerang. Sistem militer yang diajarkan
kepada warga masyarakatnya yaitu dididik langsung oleh tentara kepada laki-laki
dan perempuan, mereka latihan fisik hingga telanjang bulat, begitupun perempuan.
Perempuan diwajibkan untuk melakukan pelatihan fisik supaya kencang kulitnya,
sehingga mereka kuat pada saat melahirkan dan siap membela Negara. Keadaan
seperti ini telah membuat warga Negara Sparta memiliki rasa nasionalisme dan
kebanggaan yang sangat kuat terhadap negaranya, selain itu mereka juga sangat
tunduk dan patuh kepada pemimpin pemimpin mereka.
Pada
tahun 431-404 telah terjadi Perang Peloponesia. Perang ini mengakibatkan ujung
dari kejayaan dan kehancuran Negara Athena. Pada peristiwa itu telah terjadi
penyerangan dan penembakan dari Sparta menuju Athena, Yunani. Sparta
memberontak dan menyerang Athena hingga mereka semua hancur. Akhirnya Negara kota
Athena itu runtuh akibat serangan dari tentara Sparta. Jika dilihat dari system
pemerintahan yang dianut oleh kedua Negara ini, secara logika Athena pasti
kalah. Karena system demokrasi yang diterapkan oleh Pericles tidak mewajibkan
militer, sedagkan Aristokrat Sparta mewajibkan bahkan tanpa terkecuali itu
seorang perempuan.
Seperti
halnya perang dunia II pada tahun 1939 – 1945 yaitu pada saat kekalahan Jepang
terhadap sekutu, namun berikutnya Jepang bangkit kembali hingga menjadi macan
di Asia. Begitupun Athena, setelah kalah dalam perang Peloponesia kini
bermunculan para orang-orang baru yang memiliki pemikiran baik untuk membangun
sebuah Negara yang ideal. Salahsatunya adalah Plato, ia adalah muridnya
Socrates. Ia memiliki konsep pemikiran-pemikiran yang sangat luarbiasa untuk
membangun kembali Athena. Terdapat dua konsep Negara ideal menurut Plato.
“Negara yang ideal adalah Negara yang
berdasarkan kebajikan (Virtue)”
Kebajikan
yang dimaksud Plato adalah pengetahuan. Artinya sebuah Negara yang ideal adalah
Negara yang warga negaranya memiliki pengetahuan yang banyak, pengetahuan itu
dapat diperoleh dari pendidikan melalui sebuah lembaga yang formal. Ini adalah
cikal bakal dari sebuah sekolah formal yang ada hingga saat sekarang ini.
Pendidikan formal yang terjadi dan berlangsung secara terus menerus di Athena
telah membangkitkan kembali semangat serta menimbulkan pemikiran-pemikiran baru
yang akhirnga melahirkan para filsuf yang dapat membangun kembali Negara kota
yang telah hancur karena kalah dalam perang Peloponesia beberapa tahun yang lalu.
Plato sangat yakin bahwa jika warga negaranya terdidik, maka akan menghasilkan
sebuah begerasi yang kompak serta dapat berinovasi untuk memajukan negaranya.
“Negara ideal
didasarkan pada prinsip larangan atas kepemilikan pribadi, baik dalam bentuk uang,
harta, keluarga, anak dan isteri”
Pemikiran
plato yang kedua ini dinamakan ‘Nihilisme
sosial’ yang artinya setiap warga Negara tidak boleh memiliki hak pribadi. Semuanya
milik Negara dan diatur oleh Negara, karena jika mereka memiliki hak pribadi
maka akan terjadi kecemburuan social serta ketimpangan diantara perbedaan yang
mereka miliki. Tentunya hal ini memiliki landasan serta alasan yang kuat
mengapa Plato menyampaikan gagasan pemikiran seperti ini. Setelah warga
negaranya terdidik melalui pendidikan formal yang dilaksanakan oleh Negara,
maka berikutnya adalah mempersiapkan diri untuk selalu siap siaga ketika ada
serangan mendadak seperti yang terjadi dalam perang Peloponesia. Setiap orang
tidak boleh memiliki hak pribadi. Anak, uang dan wanita adalah milik bersama.
Anak yang baru lahir tidak boleh diasuh secara eksklusif oleh ibunya yang
melahirkan. Ia harus dipelihara oleh Negara, sehingga seorang anak tidak tahu
(dan tidak boleh tahu) siapa ayah dan ibu mereka. Anak-anak ini diasuh dalam
asrama dan didik oleh Negara, sehingga mereka memiliki jiwa mandiri dan tidak
tergantung kepada orang tuanya. Begitupun seorang isteri, tidak boleh ada
sebuah ikatan melalui lembaga perkawinan. Karena hal itu akan mengakibatkan
kecemburuan serta ketidak berdayaan seorang perempuan. Jika perempuan
bergantung kepada seorang laki-laki, dan dia mengasuh anaknya maka perempuan
itu tidak bias membela Negara. Dan ini adalah kerugian yang sangat besar bagi
Athena, wanita juga bias menjadi seorang tentara yang sama seperti laki-laki
dalam membela Negara.
Mengenai
pemikiran Plato diatas bukanlah konsep dari sebuah Negara demokrasi yang telah
hancur oleh perang Peloponesia. Ada indikasi yang menyatakan bahwa Plato benci
terhadap demokrasi. Kebencian Plato terhadap system demokrasi berlandaskan pada
sosio historis yang telah dialaminya ketika Athena dikalahkan oleh Sparta dalam
perang tersebut.