Oleh
Asep Rudi Casmana, S.Pd.
Matahari
mulai memberikan isyarat bahwa ia akan terbenam. Kala itu, aku masih berfikir
dan berdiam diri di depan gedung kembar yang merupakan landmark kota Kualalumpur, Malaysia. Suasana halu-halang
orang-orang di sekitar gedung tengah menemaniku berfikir keras mengenai sistem
pengajaran Pendidikan Kewargaegaraan di sebuah negara yang katanya di klem
sebagai salah satu provinsi negara China. Tak lain dan tak bukan adalah Taiwan.
Sambil
menyeruput segelas kopi yang sudah saya pesan di dalam Mall, tiba-tiba
datanglah seorang perempuan Chinese menghampiriku. Rambutnya yang lurus dan
agak kemereh-merahan serta matanya yang sipit dengan topi bundar berwarna putih
diatasnya tengah membuat saya kebingungan. Ditambah lagi kacamata hitam yang
besarnya juga sudah menutupi sebagian wajah cantiknya. Perempuan ini langsung
duduk disampingku sambil melepaskan kacamata dan topi bundarnya lalu berkata,
“Hi Kang Dadang, what’s going on? You look so
confused today” sambil tersenyum dia menyapa dan berusaha mendekati aku.
Area Menara Kembar Petronas Twin Tower, Malaysia |
“Oh Hi, are you Ms. Sarah from Taipei? You
look so different, your performance really make me difficult to be recognized.”
Dengan ekspresi yang sangat kaget sambil tersenyum lebar saya menyapa dia.
Ternyata
perempuan ini namanya Sarah, dia adalah international
student juga di Malaysia. Dulu aku pernah duduk bareng dalam sebuah international conference di Yogyakarta.
Aku merasa sangat senang karena dia adalah mahasiswa jurusan ilmu pendidikan
dari Taipei, Taiwan. AKu berharap dia dapat membantu dalam memecahkan teka-teki
mengani pendidikan kewarganegaraan ini. Dia adalah orang keturunan Indo
Chinese, sehingga namanya adalah Sarah.
………….
(percakapan kedepan akan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia)………………..
Aku
segera memesan minuman jus kesukaan Sarah dan mengajak berdiskusi mengenai
perkembangan pendidikan kewarganegaraan di Taiwan.
“Sarah,
aku pernah membaca salah satu tulisan yang dibuat oleh Liu Meihui, bahwa di
Taiwan itu terdapat beberapa periode penerapan pendidikan kewarganegaraan yang
berbeda-beda? Mengapa hal ini terjadi” Sambil mengerutkan kening, dengan serius
aku bertanya kepada Miss Sarah.
“Ya
benar sekali Kang Dadang, aku pernah kuliah di jurusan ilmu pendidikan dan konsentrasinya
fokus pada ilmu sosial, sehingga aku agak paham mengenai hal ini” Lanjut sarah
sambil meminum jus yang sudah aku pesan tadi.
Sarah
melanjutkan bahwa setelah China kehilangan kekuasaan untuk mengontrol Taiwan
pada tahun 1984, Jepang langsung menduduki pulau itu dan menjajahnya selama
kurang lebih lima puluh tahun. Namun pemerintah China dapat kembali mengambil
alih daerah yang diklaim sebagai salah satu provinsinya itu. Mereka berusaha
untuk menerapkan kepada para peserta didik ideologi-ideologi yang sesuai dengan
China seperti sejarah China, kebudayaan China, perpolitikan dan yang lainnya
melalui pendidikan kewarganegaraan.
Namu,
seiring dengan berjalannya waktu, Taiwan tidak mau bahwa segala sesuatu itu
diatur oleh China. Warga Taiwan menyadari bahwa mereka memiliki orang asli
pribumi yang dapat memimpin dan mengelola sendiri negaranya secara merdeka. Sehingga
munculah sebuah kesadaran yang dapat memicu pada sebuah perubahan kurikulum di
sekolah Taiwan.
…………………………..
Aku
sangat tersanjung dengan penjelasannya itu, udah mah cantik, baik, namun
pemikirannya sangatlah pintar. Aku kembali melanjutkan pertanyaan yang baru,
“Lalu fase periodisasi pendidikan
kewarganegaraan yang dimaksud seperti apa sarah?” Dengan muka melas dan
sangat tertarik kembali saya melontarkan pertanyaan kedua.
Sambil
menggerakan kedua tanggannya, karena dia sangat senang bercerita menggunakan body language mengatakan bahwa di Taiwan
memang terdapat tiga periode dalam menerapkan system pendidikan
kewarganegaraan.
Pertama
adalah masa traditional civic education. Ini
terjadi sekitar tahun 1950 hingga tahun 1980. Pada masa ini, pendidikan
kewarganegaraan dijadikan sebagai strategi partai Kuomintang (KMT), sebuah
partai komunis yang berkuasa di China pada saat itu. Civic Education memuat materi-materi lebih kepada China sentris
dimana materi-materi mengenai China lebih dominan dibandingkan dengan Taiwan.
Mereka memperkenalkan kebudayaan China, sejarah China, serta kebiasaan-kebiasaan
tradisional bangsa China. Mengenai Taiwan itu sendiri, pemerintah Kuomintang
hanya mengajarkan bahwa Taiwan adalah salah satu provinsi dari China, dan itu
pun hanya sedikit muatan-muatan materi pelajaran mengenai Taiwan.
Pemikiran
aku yang tadinya masih bingung, sekarang sudah sedikit tercerahkan dengan
penjelasan sarah mengenai periode pertama perkembangan pendidikan
kewarganegaraan oleh Sarah. Lalu sambil menyeruput kopi kesayanganku, kembali
bertanya dan minta diteruskan periode berikutnya.
Pada
periode kedua ini, sarah mengutip pernyataan Liu Meihui bahwa peridoe kedua
merupakan fase kebangkitan dan kesadaran dari masyarakat Taiwan. Periode ini
dinamakan ”The new civic education” dimana
Taiwan merevisi serta membagi-bagi kedalam bagian terkecil supaya semua materi
yang sangat mendasar dapat diterapkan dan diperkenalkan di Taiwan. Periode
kedua ini dimulai pada tahun 1980 hingga 2000. Fase kedua ini memberikan sebuah
definisi dari Ilmu Sosial yang sesungguhnya. Tujuan dari ilmu sosial ini adalah
membentuk karakter para warga muda serta memiliki kecakapan skill sosial yang
tinggi sehingga akhirnya dapat membawa masyarakat Taiwan menjadi lebih up-to-date dan menjadi warga negara yang
efektif. Lebih lanjut lagi bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dibagi menjadi dua.
Pertama adalah pelajaran “Understanding
Taiwan” yang khusus untuk siswa kelas 7 atau SMP kelas 1, pada bagian ini warga negara
diperkenalkan dengan materi-materi yang lebih spesifik seperti pemahaman
orang-orang dan bahasa Taiwan, keluarga dan para kerabat, diperkenalkan juga
tempat-tempat bersejarah di Taiwan. Berikutnya juga Taiwan diajarkan tentang
isu-isu terbaru, perpolitikan, pendidikan, agama serta kebudayaan Taiwan.
Tujuannya adalah untuk memperkenalkan dan kebanggaan Taiwan kepada warna
negaranya. Sedangkan pembagian kedua adalah “NPTA (Native place teaching activist)” yang merupakan pelajaran
tentang masyarakat lokal, lingkungan sekitar dengan tujuan untuk mempersiapkan
masyarakat Taiwan yang baru. Pelajaran NPTA ini dikhususkan bagi mereka yang
sedang duduk di kelas 3 hingga kelas 6 sekolah dasar.
Sebelum
menjelaskan periode ketiga, sarah mengajak aku keliling Petronas Twin Tower
sambil kembali melanjutkan ceritanya.
“Ayo
kita lanjutkan ceritanya sambil jalan kang Dadang” ujar Sarah sambil membuang
gelas minuman ke tempat sampah.
Dia
pun melanjutkan bahwa periode terakhir perkembangan pendidikan kewarganegaraan
dinamakan sebagai “Nine years intehrated
civic education” dimana pada periode ini seluruh aspek pendidikan
kewarganegraan yang tadinya sudah terpisahkan kembali lagi disatukan dalam
konsep Ilmu Pengetahuan Sosial. Pada tingkat sekolah menengah pertama,
pelajaran IPS terdiri dari Geografi, Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan. Sedangkan
untuk pelajaran “Understanding Taiwan” dan
“NPTA” juga tergabung dalam ilmu
sosial.
“Ya
kurang lebih begitu kang tiga fase perkembangan sejarah pendidikan
kewarganegaraan di Taiwan” Ujar Sarah sambil tersenyum lebar yang membuat
matanya menjadi merem.
Setelah
penjelasan panjang lebar, kami pun langsung menuju halte MRT Kualalumpur dan
kembali ke akomodasi masing-masing.
Catatan:
Kisah ini diambil dari ringkasan Jurnal Internasional karya Liu Meihui yang berjudul A Society in Taiwan: The Paradigm Shift of Civic Education in Taiwan.
Sumber:
Grossman,
David L., dkk. 2004. Citizenship
Education in Asia and The Pacific. Hong Kong: Springer.
Great! Carry on, bro!
BalasHapusHallo Mister Ansor. Terimakasih sudah mampir ya,
Hapusthank you :)